Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuhanpun Menghukum Arman

Gb.https://pixabay.com

Wanita paruh baya terlihat terharu melihat kedatangan saya, pastinya dia sangat terpukul dan raut wajahnyapun tak bisa menyembunyikan kesedihannya yang begitu dalam. Saya pun duduk mendekatinya, terlihat air matanya menetes menggetarkan jiwa kemanusiaan siapapun yang melihatnya. Sementara disisi isak tangisnya mata saya hanya tertuju pada satu titik, yaitu anaknya yang terbaring lemah dan sudah lebih dari sehari mengalami koma. Dalam keheningan tiba-tiba ibu malang yang hanya bisa menangisi keadaan anaknya ini berbicara dengan terbata-bata seakan berat dan mulutnya susah tuk berucap “ Terimakasih nak masih mau ingat dan peduli dengan Arman,tolong maafkan dia”.
Hanya kata itu yang bisa ia ucapkan , setelah akhirnya ia tak mampu lagi membendung deraian air mata yang tak pernah kering menangisi anaknya. Meski hanya sedikit kata yang mampu ia keluarkan, namun pengalaman menjadikan sedikit kata itu menjadi sangat dalam dan memaksa memori ingatan saya mengingatkan pada sejarah masa lalu yang kelam.
Sejak dari kecil Arman adalah salah satu dari teman kami yang selalu membuat darah naik, perbuatan dan tindakannya selalu menyakiti salah satu dari kami para teman sebaya terlebih anak-anak yang berada dibawahnya.
Ia  terlalu dimanja orangtuanya, ayahnya jarang berada dirumah karena diangkat menjadi guru PNS di daerah pedalaman  sehingga ia sangat jarang mendapat perhatian darinya. Suatu ketika kami pernah mengajaknya sholat berjama’ah bareng di masjid malah justru ia memalak kami dengan mengancam dengan senjata tajam. Saya hanya bisa menghela nafas panjang saat itu tanpa bisa berbuat apapun terlebih semua teman menyuruhku untuk mengalah dan cukup lawan ia dengan doa agar Tuhan segera memberinya hidayah. Dia masih beruntung karena sesering apapun dia berbuat jahat namun semua teman yang di perlakukannya dengan buruk tidak pernah ada yang mengadu kepada orangtuanya, semua menyayangi Arman meski terkadang sempat saya berpikir Arman tidak pantas untuk disayangi. Pulang kami sholat berjama’ah betapa terkejutnya kami melihat Arman tergeletak tidur di kursi halaman mesjid dengan mengenggam erat botol miras ditangannya. Semua yang melihat hanya bisaa mengeleng-gelengkan kepala dan mengelus dada termasuk ustadnya. 
Masalah yang dibuat Arman tidak berakhir pada malam itu, pada suatu hari ketika ibu saya pulang dari pasar ditengah perjalanan pulang Arman menghadangnya, menyodorkan pisau yang berkilau tersorot sang surya ditengah jalan nan sunyi layaknya tak berpenghuni. Ibu yang seorang diri gemetar badannya didera jutaan ketakutan. Ibu dipintanya membuka seisi dompet dan sakunya, terlihat kecewa karena ternyata tak dijumpai yang ia cari, selain selembar kertas berlambangkan Pangeran Diponegoro. Kekecewaannya berubah menjadi senang tiada terkira ketika disibaknya jilbab yang menutup leher ibu,sebuah kalung emas nan indah melingkar disana. Saya repleks berlari menghampiri karena kebetulan melewati jalan setapak itu dan melihat seorang wanita yang telah bertaruh nyawa  melahirkan saya sedang di ganggu orang lain yang di tangannya memegang pisau blati dan satu tangannya yang lain menarik kalung berharga peninggalan almarhum sang ayah. Kekhawatiran sangat besar menyelimuti saya karena akhirnya ibu disekapnya dan benda berbahaya nan tajam itu kini jadi menempel dileher wanita yang sangat saya hormati dan sayangi.
“Berhenti! Jangan mendekat kalau ingin ibumu tidak mati” kata-kata itu sampai saat ini masih terngiang di telinga saya. Terlebih ketika dia mendorong ibu dan tanpa sengaja blati yang begitu tajam itu menggores leher ibu dengan sangat dalamnya. Dia berlari kearah tikungan tajam dan dalam sekejap menghilang dari pandangan mata.
Ibu yang meronta kesakitan kedua tangannya memegangi luka dilehernya, saya tak berpikir banyak hal kala itu selain bagaimana secepatnya memberi pertolongan pada ibu. Sadar tidak ada kendaraan yang lewat dan disitu tidak ada siapapun, saya segera membopong ibu yang bertubuh agak gemuk dengan beban lebih dari 70 Kg itu.
Saya berlari , sementara darah segar terus mengalir dari leher ibu dan hampir merubah semua warna celana putih saya menjadi seperti warna bendera ini negeri. Letih terasa badan ini terlebih lutut yang dipakai menopang beban harus juga ia berlari. Lari saya tak mengenal apapun meski seakan hampir tak bertenaga, sang matapun hanya terpokus pada luka dileher ibu, hingga pada suatu ketika sang kaki yang amat berjasa tersandung batu yang kokoh menancap di tanah. Saya tersungkur dan akhirnya terjatuh, namun kedua tangan tetap menggenggam erat tubuh ibu hingga semua bebannya tertumpu pada perut saya yang kecil mungil ini.
Sakit rasanya, bahkan  lutut seakan tak mampu lagi berdiri membawa beban yang harus segera di tolong. Hati semakin was-was karena ternyata ibu sudah tak sadarkan diri. Ini membuat kekuatan dan semangat saya semakin terpompa.
Saya berusaha segera bangkit, bangun secara perlahan untuk kemudian berjalan kembali. Meski tertatih dan sempoyongan akhirnya saya sampai di rumah sakit terdekat.
Ibu segera ditolong dokter dan sampai saat ini ia pun masih belum sadarkan diri, karena ternyata lukanya begitu dalam dan darah yang dikeluarkanpun begitu banyaknya, syukurnya persediaan darah di rumah sakit tersebut masih ada hingga ibu bisa cepat mendapatkan pengganti darahnya yang hilang. Setelah bermalam di rumah sakit ini, terbesit dalam niat saya untuk melaporkan Arman ke pihak yang berwajib. Sebelum kaki melangkah keluar triba-tiba handphone di saku celana berbunyi.  Setelah diangkat rupanya ibu Arman yang menelepon memberi tahu bahwa anaknya berada di rumah sakit. Mendapat telepon itu sayapun langsung meluncur untuk melihat keadaan bajingan itu. Namun sesampainya disini melihat ekspresi ibunya hati seakan luluh, api dendam seakan hilang terlebih melihat butiran air mata yang mengalir dari mata sayu ibunya. Saya jadi teringat ibu saya dan tak tega jika harus menambah kesedihannya.
Tiba-tiba dokter datang dan menyuruh ibu Arman keruangannya, ia pun meminta saya mengantarkannya.
“Bagaimana keadaan anak saya dok ?”
Ibu mohon maaf kami akan selalu berusaha maksimal, tapi keadaan anak ibu sudah sangat parah. Rupanya dia pecandu alcohol yang sangat berat. Alcohol itu telah membuat hati anak ibu membengkak dan bahkan saat ini ginjalnya sudah hampir tidak bisa berfungsi, setelah di lakukan pengecekan secara cermat, ternyata anak ibu mengalami gagal ginjal, dengan sangat berat hati kami menyampaikan bahwa harapan untuk anak ibu bisa tetap hidup sangat tipis”
Belum berakhir dokter menjelaskan seakan tersambar petir ibu ini langsung tak sadarakan diri dan kepalanya terjatu ke pangkuan saya dengan cepatnya.
Cetak atau antar customer cetak undangan ditempat kami, dapatkan langsung pulsa atau quota




Karya De Tatang
Rabu 23 September 2015

Post a Comment for "Tuhanpun Menghukum Arman"