Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Melalui Orangtua Kutemukan Cinta Sejati yang Sebenarnya

Gb.Kutipkata.com

Semua rasa seakan menjadi satu saat suamiku mencium mesra keningku, memeluk erat tubuhku dengan penuh cinta. Aku sungguh menjadi wanita yang sangat beruntung di dunia, atas segala kesalahan dan perbuatanku selama ini. Seorang laki-laki yang selalu setia menemani dalam suka dukaku, baik burukku, bahkan cantik jelekku.
Niatku yang hampir mendonorkan kedua mataku dengan ikhlas untuknya tiada artinya jika dibandingkan pengorbanan suami ku selama ini. Mataku terus tertuju padanya yang langsung duduk di kursi rumah sakit setelah menghentikan niat ku melakukan  oprasi donor mata untuknya. Aku mencoba mendekat, rasa malu, gundah, dan seribu rasa aneh lain menghantui hatiku. Aku tak berani memandangnya , seribu penyesalan yang menghantui melemahkan mataku untuk dapat melihat bola mata yang selalu meneduhkan hati itu.
Lama tak ada kata yang terucap, kami berdua seakan mencoba menenangkan diri secara serentak. Dalam keadaan itu memoriku kembai ingat kepada buruknya kelakuan saat dulu. Aku yang di anugrahkan Tuhan dengan paras yang cantik dan anggun, ditambah dengan pujian orang-orang terdekatku membuat aku banyak kehilangan kendali dalam bersikap.
Aku dan suamiku terlahir di desa yang berbeda, sejak kecil aku hidup berkecukupan. Ayahku adalah seorang juragan tanah sehingga, meyekolahkanku sampai ke sebuah Universitas ternama di Jakartapun bukanlah suatu beban berarti baginya. Empat tahun lamanya aku menimba ilmu di kota metropolitan tersebut, ruang dan waktu telah merubah dari sosok khasku sebagai anak desa yang polos dan lugu berganti menjadi anak kota yang super gaul.
Larangan pacaran dari orangtuapun aku langgar sejak baru semester dua. Aku tak tahan dengan ledekan teman-teman yang memanggilku dengan jomblo abadi, terlebih banyak sekali teman-teman mahasiswaku yang mendekati dan banyak diantara mereka yang rupawan lagi anak-anak para hartawan.
Di desa banyak orang mengatakan aku adalah bunga desa, banyak lelaki yang coba meminangku sejak aku lulus SMA, namun semua di tolak orangtua ku secara halus dengan alasan ingin anaknya menjadi seorang sarjana dulu sebelum bertunangan, bahkan akupun dilarang ayahku untuk menerima laki-laki manapun sebelum siap untuk menikah, karena khawatir dengan keadaan dan pergaulan  zaman ini.
Aku tak mampu melawan orangtua ku, karena sejak kecil aku tak pernah berani membantahnya.
Namun rupanya, Jakarta dengan pergaulannya telah banyak merubah diriku, hingga akhirnya akupun tak mampu menolak Deni, laki-laki yang sangat aku kagumi saat ia menyatakan perasaannya padaku.
Selama tinggal di Jakarta aku menjalin cinta dengan Deni, hari-hari kami lalui berdua, sejuta kisah indah ia berikan dalam kisah cinta kami. Kata-kata dan perlakuannya sangat membuat wanita manapun bahagia, dia yang sangat gaul layaknya remaja Jakarta pada umumnya  sehingga aku sangat yakin dialah cinta sejatiku.
Meski Deni anak yang baik dan berniat serius aku tak pernah menceritakan dirinya kepada orangtuaku dan aku meminta siapapun yang mengetahui kisah cinta kami untuk merahasiakannya pada mereka.
Semua berjalan mulus, hingga akhirnya aku diwisuda dan orang tua ku menjemput aku  kembali pulang kekampung sebagai seorang sarjana Hukum sesuai keinginannya. Aku tak pernah menyangka kalau ayah telah mempersiapkan pesta penyambutan dan syukuran atas wisudaku dengan sangat meriah.
Di rumahku telah berkumpul banyak orang, entah siapa saja mereka, sebagian ada yang kukenal itupun yang satu desa sementara sebagian lagi sangat asing bagiku, mungkin itu teman ayah ibuku gumamku dalam hati.
Semua orang memberiku selamat, begitu meriah pesta yang orangtuaku persiapkan, itu semua demi membahagiakan aku. Belum pernah aku melihat ayah sebahagia hari itu wajahnya bersinar binar tatapan matanya menujukan betapa sangat bahagianya ayah hari itu.
Sementara itu Hp ku terus berbunyi, Deni terus-terusan berusaha menghubungiku, namun aku tak bisa mengangkat karena jujur aku takut ketahuan dan merusak kebahagiaan ayah saat itu.
Tak ada pikiran lain dalam benakku melihat pesta itu selain syukuran atas wisudaku, sampai akhirnya ayah naik ke atas podium yang telah di persiapkan lengkap dengan pengeras suaranya.
Aku mendengarkan setiap kata yang ayah ucapkan dengan seksama, aku bangga dan bahagia karena betapa ayah menujukan ia sangat menyayangi dan membanggakan aku di depan semua tamu yang ada. Sampai akhirnya aku sangat kaget ketika ayah berkata “Telah tiba saat yang dinanti selama 24 tahun ini,sebuah janji suci dua sahabat sejati untuk menjadi sanak family. Saya dan sahabat Gunawan telah bersepakat untuk menjodohkan anak kami sejak mereka kecil yaitu Kinanti dan Adib Masrukhan”  Bingung harus berbuat apa, aku tak ingin menghianati Deni tapi juga tak mungkin membuat ayah kecewa terlebih jika harus menanggung malu di hadapan semua mata yang menyaksikan.
“Hari ini selain syukuran atas  di wisudanya Kinanti juga merupakan hari pertunangan mereka berdua, kepada putra-putri kami yang berbahagia di mohon naik keatas podium”.
Aku tak menyalahkan sepenuhnya apa yang ayah lakukan,karena memang sejak aku mulai dewasa ia sering menceritakan persahabatan mereka dan juga tentang mas Adib, aku tak pernah menyangka ini benar-benar terjadi. Ayah masih menganggap aku masih seperti dulu yang pasti patuh dan taat pada orangtua. Ayah tidak tahu kisahku, ayah tidak tahu aku sudah punya pilihan selama di Jakarta, dan aku tak kuasa untuk menolak permintaan ayah.
Naiklah aku ke podium, ayah pertemukan aku dengan seorang pria yang menjadi pilihannya untuk menjadi suamiku. Seorang pria yang baru pertama aku lihat, yang kata ayah baru selesai menyelesaikan S2 nya di Kairo Mesir, seorang pria yang sejak lulus SD sampai S1 nya hidup di lingkungan pondok pesantren, seorang pria yang jauh dari gilanya pengaruh budaya buruk zaman ini, begitulah ayah menjelaskan sosok pria yang di hadapan aku saat itu.
Aku tak kuasa ketika ayah bertanya padaku, maukah kau terima lamaran pria luar biasa ini anakku? Maukah kau menjadi istrinya ?
Semua terdiam, semua hening, seakan kehidupan ini berhenti, seakan bumi berhenti berputar dari porosnya.Semua mata tertuju padaku, kulihat wajah orangtuaku yang penuh harap anaknya mengatakan ya.
“Tidak ayah!.... Sedikit kata itu seakan merusak dan merobek hati semua hadirin yang hadir terlebih keluargaku dan keluarga mas Adib, tak mampu aku melihat semua itu akupun berkata kembali, “Aku tidak mungkin menolak permintaan ayah, yang selalu memberikan yang terbaik untukku, ayah langsung memelukku disambut sorak dan tepuk tangan semua tamu yang ada. Meski aku sendiri harus menahan sakit karena terpaksa membohongi perasaan sendiri.
Beberapa bulan kemudian aku dan mas Adibpun menikah, hingga akhirnya kamipun bulan madu.
Selama bulan madu itu aku selalu menolak ketika mas Adib mengajakku berhubungan layaknya suami istri,selalu ku buat alasan dimulai dari belum siap sampai alasan datang bulan.
Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan karena hati dan pikiranku selalu ingat dengan Deni, aku selalu merindukannya. Dan dia pasti sangat kecewa karena tidak bisa menghubungiku, karena saat itu kartu HP ku , aku ganti yang baru.
Sampai waktu bulan madu telah usai masa Adib belum pernah bisa menjamahku, aku pikir dengan begitu dia akan marah dan menceraikanku,hingga akhirnya aku bisa kembali dengan cinta sejatiku.
Namun ternyata dia selalu memperlakukanku dengan lembut, sabar dan penyayang. Hari-harinya ia habiskan dengan ibadah, dimulai dari puasa hingga baca Qur’an tiap tengah malam.
Perlakuannya yang begitu baik dan lembut membuat aku tak tega untuk tidak memberikan haknya terlalu lama, hingga selang beberapa bulan akupun mengandung dan akhirnya melahirkan seorang putra untuknya.
Sekian lama bersama akhirnya benih-benih cintapun mulai kurasakan pada seorang pria yang telah memberikanku seorang anak tersebut. Kami hidup bahagia , tenang dan penuh suka cita.
Sampai akhirnya suatu ketika aku kembali aktifkan akun sosial mediaku yang sudah lama aku non aktifkan.
Aku kangen sahabat-sahabatku, dan ingin  tahu kabar mereka, namun justru yang ku temukan bukan sahabat namun justru akun Deni yang kata-katanya sangat menyentuh hati dan ingin sekali bertemu denganku.
Rupanya ia tetap setia menjaga cintanya untukku, hingga akhirnya akupun mengirim pesan ke akunnya dan diapun membalasnya.
Kucoba jelaskan semuanya pada Deni,dan berharap dia mau mengerti dan mau memaafkan aku. Tapi dia selalu mengalihkan pembicaraan dan membuat seolah-olah keadaan  kami berdua masih sama seperti  saat pacaran dulu.
Setiap hari dia selalu mengirim kata-kata manis untukku, memuji kecantikanku, dan mengungkapkan kerinduan-kerinduannya padaku.
Aku tak kuasa , karena sejujurnya akupun sangat mencintainya. Musibah inipun dimulai ketika ku berikan no telponku padanya, dia mulai semakin membuatku tak berdaya  menahan rasa hingga akhirnya kamipun janjian ketemu.
“Aku sangat mencintaimu Kinan, aku tak rela kamu menjadi milik siapapun selain aku”
“Tidak Den, kita sudah beda, tidak seperti dulu lagi, kita tak mungkin bersama” itu sedikit dialog kami yang masih aku ingat saat masih ada dalam mobil, sampai akhirnya Deni mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel.
“Kita mau apa Den?”
“Ada hal penting yang harus kita bicarakan Kinan, untuk terakhir kalinya, aku janji setelah ini gak akan ganggu kamu lagi”
“Tapi kenapa harus di hotel?’
“Sudahlah kinan, aku sangat mencintaimu, aku tidak mungkin menyakitimu, percayalah”
Karena selama aku mengenal Deni, ia adalah sosok yang baik dan tak pernah macam-macam padaku, maka seolah terbius akupun nurut saja.,
Sesampainya di kamar hotel Deni kurasakan lain, seperti orang asing.
“Kinan, aku sangat mencintaimu, kenapa kamu tega khianatin aku,aku tak bisa hidup tanpa kamu kinan.
Aku rindu kamu”
Plak …. Tanpa sengaja tanganku menampar wajah  Deni, karena dia mulai kurang ajar padaku,,,
“Den inget sekarang aku istri orang” sangat keras ku katakana itu padanya, karena  akupun  tak menyangka kalau Deni  bisa senekad itu.
“Kinan kamu hanya milikku, atau tidak milik siapapun …
“Tidak… kamu gila den, kamu gila”
“Kamu tolak aku Kinan, baiklah “ … Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan teriak saat itu.
Hingga akhirnya Deni memperlihatkan air yang kalau di teteskan kelantai mengeluarkan asap di depanku.
Kalau kamu tidak mau pergi denganku dan meninggalkan suamimu, maka air ini akan aku taruh di wajah cantikmu, hingga takan ada lagi yang menikmati kecantikanmu itu.
“Den aku mohon jangan Den, …. Puluhan kali akau memohon dan menolak tak mampu membuat Deni mengurungkan niatnya, hingga akhirnya kamipun benar-benar bertengkar hebat dan air keras  itupun benar-benar membasuh halusnya wajahku.
Aku berteriak histeris, panas dan sakit luar biasa kurasakan, hingga Denipun mengahampiriku, bahkan meludahiku sembari  berkata “sekarang tidak akan ada seorang priapun yang mau padamu, penghianat….”
Pria yang katanya sangat mencintaiku itupun lari meninggalkanku setelah menyakitu hati dan ragaku dalam perih yang tak tertahan, hingga akhirnya akupun tak sadarkan diri.
Setelah itu aku tak tahu lagi bagaimana ceritanya, karena ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di Rumah sakit dan suamiku ada di dekatku.
Aku  tak mampu berbicara apapun, dan wajahku terasa sangat kaku, perbal telah menyelimuti semua kulit wajah yang dulu sangat aku banggakan itu.
Mas Adib selalu setia mendampingi merawat dan menjagaku, sampai tibalah waktunya perban di wajahku dilepas.
Mas Adib tersenyum setelah Perbanku di buka dan berkata “Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan keselamatan dan kesembuhan pada istriku”
Ku pikir aku benar-benar sembuh ketika mas Adib berbicara seperti itu, kupikir wajahku masih tetap cantik seperti dulu.
Sampai akhirnya ku menyadari bahwa dugaanku salah, sebuah kaca ruangan rumah sakit telah  memberi tahu ku betapa sangat buruknya wajahku saat ini.
Aku merota menangis sekeras-kerasnya, mas Adibpun memeluk dan mencoba menenangkanku…
Sesampainya di rumah, semua terasa hampa, aku merasa malu dan tak punya semangat hidup lagi.
Aku tak berani lagi menampakan diriku di hadapan orang lain , bahkan untuk menemani suami makan dan tidurpun aku tak berani, aku tak mau mas Adib jadi tidak selera makan karena melihat wajahku, terlebih anakku yang masih baru satu tahun pasti dia takut melihatku.
Aku selalu menghidar berkomunikasi dengan siapapun tanpa terkecuali suamiku, hingga akhirnya sampai suatu waktu saat jam sudah menujukan waktu tengah malam, aku sangat khawatir karena tak mendengar kedatangan suamiku pulang dari tempat kerjanya.
Sang suryapun muncul dari peraduannya, namun mas Adib belum juga memberi  kabar, membuat aku semakin resah mengkhawatirkannya.
Kring…kring..kring…
Suara telpon rumah itu memberiku suatau harapan dia menelponku
“Selamat pagi, apa benar ini dengan Keluarga pa Adib Masrukhan?
“Ia betul, saya istrinya, maaf ini dengan siapa ya?”
“Kami dari Rumah Sakit X bu, kami memberi tahukan bahwa suami ibu ada di Rumah sakit karena semalam mengalami kecelakaan”
Jleb,,,, seperti tertusuk blati rasanya aku mendengar kabar itu, dan bergegas langsung kerumah sakit itu, tanpa lupa ku kenakan cadar untuk meutup wajahku”
Singakt cerita sampailah pada saat hari ini, saat dimana tadi aku mengetahui bahwa suamiku mengalami kebutaan, Dokter mengatakan mas Adib buta permanen dan tak bisa melihat lagi”
Aku tak tahu harus berbuat apa, aku menangis di atas dadanya, dia tersenyum, dan meski  baru kecelakaan badannya masih terlihat gagah perkasa.
Beberapa jam kemudian aku menemui dokter dan mengatakan bahwa aku ingin mendonorkan kedua mataku untuk mas Adib, dokter terus membujukku untuk memikirkannya masak-masak, tapi aku terus meyakinkan bahwa tekadku sudah bulat.
Hampir semua berjalan dengan mulus tanpa kendala dan tanpa sepengetahuan suamiku,karena aku tahu kalau sampai ia tahu pasti ia akan melarangku.
Namun ketika semua persiapkan sudah siap semua, tiba-tiba kulihat suamiku lari menghampiriku. Akupun kaget kenapa dia sampai bisa tahu dan kenapa dia bisa lari dengan kencangnya meski ia tak mampu melihat? Dan sampai saat ini aku belum tahu jawabnnya…
Sayang ….
Suara khas itu membuyarkan anganku…


“Maafkan mas ya, jujur mas tidak buta, mas gak bisa terus-terusan di diemin kamu.
Mas tahu kamu menghindar karena wajahmu sudah tidak secantik dulu lagi, mas mencintai kamu bukan karena kecantikanmu sayang ….
Aku memeluknya dan meneteskan air mataku di dadanya.
“Dulu kita tidak saling kenal, mas mau menerima penawaran ayah ketika hendak menjodohkan kita karena yakin kamu yang terbaik untuk mas.
Mas tahu semuanya, karena tanpa sengaja membuka percakapan di Laptopmu, mas terima kamu apa adanya, apapun kodisimu. Tapi ketika kamu terus menghindar dan itu alasannya karena wajah yang tidak secantik dulu lagi, maka mas lebih memilih pura-pura tak dapat melihat agar kamu bisa selalu ada di sisi mas seperti dulu lagi. Dokter tadi menjelaskan bahwa kamu hendak mendonorkan matamu untuk mas, mas biarkan sampai saat ini, hingga akhirnya mas lari menemuimu untuk membuktikan bahwa mas masih di beri penglihatan oleh Allah.
Sayang, kecantikanmu mungkin bisa hilang, tapi tidak untuk cinta mas.
Mas mencintaimu karena Allah, cinta karena-Nya pasti abadi, kamu adalah amanat dan anugrah dari-Nya, mas pasti menjagamu baik-baik.
Mas berharap kita bisa bersama  di Dunia dan Akhirat, tolong jangan menghindar lagi ya “
Aku semakin memeluk mas Adib dengan erat, dan sekarang aku sadar apa hakiakt cinta yang sejati itu sebenarnya. Bukanlah dia yang membuatku seperti ini, bukan dia yang hanya mencintaiku saat sempurnaku, tapi dialah suamiku yang mencintaiku bukan karena rupaku tapi karena baginya aku adalah amanat Tuhannya.
Terimakasih ayah ibu, telah memberiku pendamping yang tepat.

Tamat
Karya Detatang
Putra Kamal Larangan Brebes.






Post a Comment for "Melalui Orangtua Kutemukan Cinta Sejati yang Sebenarnya"