Percakapan Rasulullah di Malam Hari Menurut Kitab Asy-Syama-ilul Muhammadiyyah
Percakapan Rasulullah Saw. di malam hari -
'Aisyah r.a mengkhabarkan
Pada suatu malam, Rasulullah saw. bercakap-cakap dengan para istrinya......
Salah seorang dari mereka berkata, “Percakapan macam ini seperti percakapan khurafat.”
Rasulullah saw. bersabda, “Tahukan kalian apa khurafat itu? Sesungguhnya khufarat itu nama seorang laki-laki dari Udzrah (Qabilah Yaman yang termasyhur) yang disembunyikan oleh jin pada zaman jahiliah. Ia tinggal bersama mereka (jin) beberapa lama. Kemudian para jin mengembalikannya ke alam manusia lagi. Khurafat bercerita tentang keajaiban-keajaiban yang ia alami di alam jin kepada orang-orang. Lantas, (untuk cerita-cerita macam itu) orangorang berkata, ‘Itu cerita Khurafat.”’
Diriwayatkan oleh al-Hasan bin Shabbah al-Bazari dari Abu Nadlr dari Abu ‘Uqail ats-Tsaqafi 'Abdullah bin ‘Uqail dari Mujalid dari as-Sya‘bi dari Masruq yang bersumber dari ‘Aisyah r.a..
'Aisyah r.a. bercerita:
Sebelas orang wanita duduk-duduk, lantas mereka berjanji setia tidak akan menyembunyikan perilaku suami-suami mereka barang sedikit pun (untuk dibicarakan).
Wanita pertama mengungkapkan,
“Suamiku bagaikan daging unta kurus yang tinggal di puncak gunung berbatu-batu. Unta itu tidak berada di tanah datar sehingga dapat dijemput, juga tidak berbadan gemuk sehingga ada orang yang berminat memungutnya.”
(Maksudnya, suamiku bertubuh tidak menarik dan akhlaknya juga tidak baik ditambah dengan sifat takaburnya. Segala kebaikan akan susah payah didapatkan darinya. Kepada istri tidak banyak manfaat yang diberikannya).
Wanita kedua mengungkapkan,
“Suamiku tiada berani kuungkapkan terus terang ceritanya Aku takut karenanya bisa dicerai. Bila kusebutkan (terus terang), berarti menyebut urat leher dan pusatnya.”
(Maksudnya, aku tidak berani berterus terang menceritakan tentang ihwal suamiku, bisa-bisa terjadi cekcok dan perceraian, kehilangan anak-anak dan keluarga. Oleh sebab itu cukup dengan isyarat saja. Isyarat itu berbentuk “Bila kusebutkan terus terang, berarti aku menyebut urat leher dan pusatnya", yakni ia seorang yang memiliki aib lahir batin).
Wanita ketiga berkata, “Suamiku kurus, tinggi tak menarik. Bila kusebut kekurangannya, aku ditalaknya. Bila aku berdiam diri, aku dicerai gantung.”
(Maksudnya suamiku tidak menarik dan buruk akhlaknya. Bila diceritakan kekurangannya, ia akan segera mencerai aku. Tapi bila aku diam, aku tidak dipergauli dengan baik, sehingga aku bagaikan orang yang bersuami tidak, dicerai pun tidak).
Wanita keempat berkata,
“Suamiku, ia bagaikan alam di negeri Tihamah. Tiada panas dan tiada dingin. Tiada menakutkan dan tiada membosankan.”
(Maksudnya, suamiku berpendirian sempurna, tiada pernah menyakiti jasmaniku dan rohaniku. Mulia akhlaknya dan indah dalam pergaulan rumah tangga. la bagaikan negeri Tihamah yang serba menyenangkan. (Tihamah adalah daerah Mekah dan sekitarnya)).
Wanita kelima berkata, “Suamiku, bila datang suka tidur-tiduran. Bila keluar rumah berani bagaikan singa. Tidak pernah menanyai sesuatu yang menjadi miliknya (bila telah tiada)?“
(Maksudnya, suamiku seorang yang suka memperhatikan istrinya. Tiada pernah lalai dari kewajibannya sebagai seorang suami. Bila ia berada di luar rumah, ia tunjukkan sifat keperkasaannya di hadapan musuh. Kemudian tentang harta benda miliknya yang ada di rumah, tiada pernah ia merasa kehilangan bila sudah habis dimakan atau rusak dan ia juga tidak pernah bertanya, ke mana dan mengapa. Jiwanya mulia dan wataknya tercermin sebagai orang pemurah)
Wanita keenam berkata,
“Suamiku, bila makan sangat lahap, bila minum habis sampai tak ketinggalan. Bila berbaring berselimut sendiri. Tidak pernah tangannya meraba-raba ke dalam pakaianku, untuk mengetahui kesedihanku.”
(Maksudnya, suamiku adalah seorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak pernah tahu dengan tanggung jawabnya sebagai suami. Tidak pernah menunjukkan kasih sayang kepada istrinya dan tidak pernah mengerti akan kesedihan istrinya)
Wanita ketujuh berkata,
“Suamiku cepat lelah, bodoh, pokoknya seluruh aib ada pada dirinya. Ia lukai kau (bila kau sebagai istrinya), ia patahkan anggota badanmu atau ia himpunkan keduanya padamu.”
(Maksudnya, suamiku seorang yang bodoh, lemah syahwat, semua kekurangan ada pada dirinya dan buruk pula akhlaknya).
Wanita kedelapan berkata,
“Suamiku sentuhannya lembut, bagaikan sentuhan kelinci dan badannya harum, seharum bunga mewangi.”
(Maksudnya, suamiku berakhlak baik, lembut tutur katanya dalam pergaulan rumah tangga dan harum namanya di kalangan masyarakat).
Wanita kesembilan berkata,
“Suamiku tinggi tiang, panjang pedang, banyak abu, dan dekat rumah dengan gedung musyawarah."
(Maksudnya, suamiku status sosialnya tinggi (tinggi tiang), berjiwa perwira (panjang pedang), berjiwa dermawan (banyak abu) dan tamunya orang-orang terhormat (dekat rumah dengan gedung musyawarah)).
Wanita kesepuluh berkata,
“Suamiku namanya Malik. Siapa gerangan Malik itu? Ia lebih baik dari yang dapat kututurkan di sini. Ia punya unta yang banyak di kandangnya, tapi sedikit di tempat gembalaannya. Bila unta-unta itu mendengar musik gambus, mereka yakin akan disembelih (unta para tamu).”
(Maksudnya, suamiku bernama Malik, ia seorang amat dermawan. Kekayaannya melimpah kepada orang lain yang memerlukannya. Tamunya banyak dan selalu dijamu dengan baik. Ia sering kenduri menjamu masyarakat.
Sedangkan maksud dari “Ia punya unta yang banyak di kandang, tapi sedikit di tempat gembalaannya”, yakni untanya banyak yang dipersiapkan untuk disembelih bagi para tamu (dikurung dalam kandang agar mudah mengambilnya untuk disembelih).
Wanita kesebelas berkata,
“Suamiku Abu Zar (Abu Zar‘in) (Ket: Abu Zar’in merupakan gelar suami yang diberikan wanita kesebelas. Maksudnya seorang petani dan penggembala yang sukses.)
Siapa gerangan Abu Zar‘in itu? Ia gerakkan telingaku karena perhiasan yang terpasang. Anggota tanganku berisi daging (gemuk). Ia gembirakan aku, maka senanglah aku padanya. Sebelumnya, ia temukan aku di tengah-tengah orang yang menggembala kambing sedikit lagi dalam keadaan susah payah, lalu ia jadikan aku berada di kalangan orang yang memiliki kuda, unta, sapi dan ladang. Di sisinya aku berbicara, dan tiada sepatah kata pun ucapanku kasar kepadanya. Aku puas tidur bersamanya sampai subuh. Aku minum bersamanya dengan puas pula.
Tentang ibu Abu Zar‘in. Tahukah kalian ibu Abu Zar‘in? Tempat makannya besar, rumahnya luas. (Ket: Maksudnya, kehidupan ibu Abu Zar'in itu makmur).
Tentang putra Abu Zar‘in. Tahukah kalian putra Abu Zar‘in? Lambung tempat berbaringnya bagaikan serat pelepah kurma yang halus. Ia sudah kenyang bila makan sepotong paha anak kambing.
(Maksud dari lambung tempat berbaringnya bagaikan serat pelepah kurma yang halus, yakni berbadan sedang tidak gemuk, dan badannya dalam keadaan stabil. Keadaan seperti ini bagi seorang lelaki Arab adalah bentuk yang ideal dan lambang kehormatan).
Tentang putri Abu Zar‘in. Tahukah kalian putri Abu Zar‘in‘? Ia seorang yang patuh kepada kedua orang tuanya. Sesak pakaiannya karena gemuk badannya dan dicemburui oleh madunya. Tentang budak Abu Zar‘in. Tahukah kalian budak Abu Zar‘in? Ia tak pernah menyebarluaskan pembicaraan kami. Ia tak pernah memindahkan makanan kami kepada orang lain dan ia tak pernah membawa sampah (rombengan) ke rumah kami.”
Wanita kesebelas ini selanjutnya bercerita,
“Pada suatu hari Abu Zar‘in berangkat musafir, sedangkan waktu itu masa panenan air susu binatang melimpah ruah. (Ket: Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab pergi berniaga pada masa panenan susu kambing dan unta yang melimpah).
Lantas ia bertemu dengan seorang wanita yang mempunyai dua orang anak.
Kedua anaknya tangkas setangkas harimau. Keduanya bermain-main dengan buah delima di bawah pinggang wanita itu. Lalu Abu Zar‘in menceraiku dan nikah dengan wanita itu. Lantas aku menikah dengan seorang laki-laki yang juga dari kalangan bangsawan, yang bertunggang kuda dan memegang tombak keluaran Khaththi.
(Ket: Khaththi ialah sebuah desa di pantai laut Oman. Penduduknya terkenal karena keahlian mereka membuat tombak yang halus dan bermutu tinggi. Tombaknya pun dinamai tombak Khaththi)
Pada siang hari, ia bawakan kepadaku unta-unta yang banyak, lalu ia serahkan binatang-binatang itu kepadaku. Ia berikan kepadaku setiap binatang ternak itu sepasang-pasang, seraya berkata, ‘Hai Ummu Zar‘in, makanlah dan berilah keluargamu!’ (Ket: Ini merupakan suatu ungkapan tentang betapa halusnya budi pekerti dan amat pemurahnya suami yang baru).
Sungguh pun demikian (keadan suami yang baru ini), bila kuhimpun semua pemberiannya kepadaku,(Ket:
Yang dimaksud dengan pemberian di sini, mencakup pemberian cinta kasih dan harta benda yang banyak dan tulus)
tentu belum bisa memenuhi sebuah bejana terkecil Abu Zar‘in. (Ket: Walaupun sudah demikian banyak pemberian yang diberikan oleh suaminya yang baru, namun bila dibandingkan dengan pemberian Abu Zar‘in masih terlalu kecil perbandingannya. Pada kalimat di atas tersirat suatu gambaran bahwa Abu Zar'in adalah seorang yang amat baik akhlaknya dan bertanggung jawab kepada keluarga. Selain itu, keluarganya pun terdiri atas orang-orang yang baik dan patuh. Munculnya suami baru dalam cerita, hanyalah bersifat perbandingan untuk menggambarkan keutamaan Abu Zar‘in).
'Aisyah r.a. selanjutnya berkata, “Maka Rasulullah saw. bersabda kepadaku, ‘Sedangkan aku di sampingmu bagaikan Abu Zar‘in di samping Ummu Zar‘in.
(Ket: Pada riwayat an-Nasai ada tambahan, “...... Hanya saja bedanya Ummu Zar‘in dicerai oleh Abu Zar‘in, sedangkan aku (Rasulullah saw.) tidak mencerai engkau! 'Aisyah r.a. menjawab, ‘Wahai Rasulullah, engkau lebih baik daripada Abu Zar'in”'.)
Diriwayatkan oleh 'Ali bin Hujr dari “Isa bin Yunus dari Hisyam bin 'Urwah dari saudaranya, 'Abdullah bin 'Urwah, dari ‘Urwah yang bersumber dari 'Aisyah r.a.
Demikian pembahasan mengenai percakapan Rasulullah saw. di malam hari. Bagi Anda yang ingin membaca semua isi kitab Asy-Syama-ilul Muhammadiyyah yang membahas lengkap, Pribadi dan Budi Pekerti Rasulullah SAW, silahkan bisa klik di sini.
Post a Comment for "Percakapan Rasulullah di Malam Hari Menurut Kitab Asy-Syama-ilul Muhammadiyyah"