Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Perbandingan Kurikulum Amerika dengan Indonesia

Makalah Perbandingan kurikulum Amerika dengan Indonesia


BAB I


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perencanaan dan pengembangan kurikulum merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan telaah mendalam dan komprehensif untuk memenuhi syarat kelayakan. Dinamika perkembangan bangsa Indonesia dewasa ini, menuntut bahwa pengembangan kurikulum perlu memperhatikan perkembangan yang ada pada dunia saat ini.

Pemerintah harus memperhatikan tentang tujuan pendidikan yang ada pada Indonesia bahwa pendidikan sasaran utamanya adalah anak-anak dan remaja pada umumnya sesuai dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Undang-undang ini mengamanatkan pembaharuan yang besar dalam system pendidikan kita. Sebagai kelanjutan dari Undang-undang tersebut, untuk pertama kalinya dalam pendidikan kita diharuskan ada standard nasional untuk isi atau disingkat Standar Isi (SI) melalui Permen No. 22 Tahun 2006. Karena standard ini bersifat Nasional maka haruslah setelah beberapa waktu SI tersebut dipenuhi oleh semua system pendidikan di Nusantara. Mengacu kepada SI ini juga standard yang lain seperti standard kompetensi guru dan standard buku/bahan ajar matematika dapat disusun rambu-rambu untuk menyusun kurikulum matematika.

Namun demikian setelah kurang lebih satu tahun dikeluarkannya Permen No. 22 Tahun 2006 tentang SI, ternyata masih mengalami masalah atau hambatan khususnya pada pelajaran matematika baik dari aspek pemahaman guru tentang dokumen SI maupun dalam aspek implementasi SI (proses penyusunan program dan kegiatan belajar-mengajar di kelas). Permasalahan tersebut antara lain kepadatan materi, SK dan KD dalam standar isi mata pelajaran matematika walaupun sudah merupakan perampingan dari kurikulum terdahulu. Namun dalam pelaksanaannya masih dirasakan padat oleh sebagian guru. Hal ini disebabkan SK dan KD berpotensi menimbulkan multi-interpretasi karena sifatnya yang terlalu umum bagi guru. Disamping itu masih ditemukan adanya tumpang tindih KD, beberapa kompetensi yang ada sebenarnya indikator, tujuan sama (over lapping) tetapi dituliskan dalam KD yang berbeda.

Di Amerika Serikat karakteristik utama system pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti tidak ada rumusan tentang tujuan pendidikan yang berlaku secara nasional.

Tujuan system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:

a.       Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman
b.      Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
c.       Untuk membantu pengembangan individu
d.      Untuk memperbaiki kondisi social masyarakat
e.       Untuk mempercepat kemajuan nasional

Di luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan visi dan missi pendidikan gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal dan biaya pendidikan relative murah untuk tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia baru menetapkan system pendidikan gratis untuk 9 tahun jejang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sedangkan sekolah menegah atas masih perlu mengeluarkan uang untuk membayar sekolah.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat diambil permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:

Bagaimana perbandingan kebijakan pendidikan yang ada di Amerika Serikat dan Indonesia?



BAB II

PEMBAHASAN

A.      DESKRIPSI KEBIJAKAN PENDIDIKAN AMERIKA SERIKAT

1.      Politik Pendidikan AS

Pada umumnya kebijakan pendidikan yang diambil di suatu negara cenderung dijadikan alat intervensi negara kepada warga negaranya. Bentuk intervensi itu bisa berupa justifikasi (abash atau diakui/tidaknya) ilmu pengetahuan tertentu, pengaturan kelembagaan sekolah, lama pendidikan dan gelar, serta kualifikasi pendidikan yang dikaitkan dengan posisi pekerjaan (jabqatan). Di antara jenjang pendidikan sekolah (mulai dari tingkat Dasar hingga Perguruan Tinggi) yang ada, umumnya negara lebih memilih mengkonsentrasikan kekuasaannya untuk mengintervensi pendidikan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak, remaja dan kaum muda. Hampir tidak ada negara yang menaruh perhatian cukup besar pada pendidikan untuk orang-orang dewasa.

Pertanyaannya adalah; Mengapa negara lebih memilih memusatkan perhatiannya kepada pendidikan anak-anak (muda) dibandingkan dengan pendidikan orang dewasa?. Heidenheimer (1990: 23) memberikan ilustrasi jawaban sebagai berikut: Bahwa sebagian negara memilih lebih mengkonsentrasikan intervensinya pada pendidikan untuk anak-anak dan remaja adalah disebabkan alasan karena negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kader-kader bangsa. Sebagian negara yang lain memiliki alasan bahwa sekolah cukup menarik untuk dikuasai, dimana di dalamnya terdapat generasi yang sangat mudah untuk dipengaruhi. Ada juga sebagian negara beralasan karena hak suara untuk pemilihan politik di masa yang akan datang perlu proses sosialisasi, dan itu cocok dilakukan untuk anak-anak melalui sekolah-sekolahnya.

Sementara itu pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Karena itu para orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya di berbagai lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan atau diakreditasi oleh negara. Campur tangan dan intervensi negara pada pendidikan sekolah formal tampaknya sering diabaikan oleh para orang tua. Karena itu perlu adanya mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa (masyarakat) setempat terhadap penyelengaraan pendidikan sekolah-sekolah formal agar intervensi (kebijakan) negara dalam sector pendidikan bermakna positif bagi generasi berikutnya yang lebih handal, sekaligus untuk mengurangi terjadinya peluang penyimpangan yang mungkin dilakukan negara dalam kegiatan intervensinya itu.

Di negara-negara demokrasi, kesadaran untuk mengawasi dan membatasi intervensi pemerintah pada sector pendidikan itu ditandai dengan dipilihnya asas desentralisasi dalam pengambilan kebijakan (pengaturan) sector pendidikan. Amerika Serikat adalah salah satu negara pelopor demokrasi. Sudah sejak lama kebijakan pendidikan di Amerika Serikat menjadi tanggung jawab Pemerintah Negara Bagian (State) dan Pemerintah Daerah (Distrik). Sebelumnya, Pemerintah Pusat memang mengintervensi kebijakan pendidikan, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1872, dimana Pemerintah Pusat AS mengintervensi kebijakan pendidikan dengan cara memberikan tanah negara kepada Negara Bagian untuk pembangunan fakultas-fakultas pertanian dan teknik; membantu sekolah-sekolah dengan program makan siang, menyediakan pendidikan bagi orang-orang Indian; menyediakan dana pendidikan bagi para veteran yang kembali ke kampus untuk menempuh pendidikan lanjutan; menyediakan pinjaman bagi mahasiswa; menyediakan anggaran untuk keperluan penelitian, pertukaran mahasiswa asing dan bantuan berbagai kebutuhan mahasiswa lainnya; serta memberikan bantuan tidak langsung (karena menurut ketentuan Undang-Undang Amerika Serikat pemerintah dilarang memberikan bantuan langsung) kepada sekolah-sekolah agama dalam bentuk buku-buku teks dan laboratorium.

Namun semenjak masa Pemerintahan Presiden Ronald Reagen, intervensi Pemerintah Pusat AS terhadap pendidikan mulai dikurangi. Selanjutnya tanggung jawab dan inisiatif kebijakan pendidikan diserahkan kepada Negara Bagian (setingkat Propinsi) dan Pemerintah Daerah/Distrik (setingkat Kabupaten/Kota). Di Amerika Serikat terdapat 50 Negara Bagian dan 15.358 Distrik. Jadi sebanyak itu lembaga yang diberi kewenangan dan otonomi untuk mengelola pendidikan.

2.      Tujuan Pendidikan AS


Sebagaimana dideskripsikan di atas bahwa karakteristik utama politik system pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti tidak ada rumusan tentang tujuan pendidikan yang berlaku secara nasional.

Tujuan system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:

f.       Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman
g.      Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
h.      Untuk membantu pengembangan individu
i.        Untuk memperbaiki kondisi social masyarakat
j.        Untuk mempercepat kemajuan nasional

Di luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan visi dan missi pendidikan gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal, dan biaya pendidikan relative murah untuk tingkat pendidikan tinggi.

3.      Manajemen Pendidikan AS

Dengan mengembangkan pola Desentralisasi, maka manajemen pendidikan di Amerika Serikat dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masrakat Negara Bagian dan Pemerintah Daerah setempat. Di tingkat nasional (federal/pusat) dibentuk satu departemen, yaitu Departemen Pendidikan Federal. Departemen ini dipimpin oleh seorang setaraf Sekretaris Kabinet.

Tugas departemen ini adalah melaksanakan semua kebijakan pemerintah federal dalam sector pendidikan di semua tingkatan pemerintahan dan untuk semua jenjang pendidikan. Tetapi, karena sebagian besar kewenangan dan tanggung jawab pendidikan sudah diserahkan kepada Negara Bagian dan Pemerintah Daerah, maka Departemen Pendidikan Federal hanya menjalankan monitoring dan pengawasan saja. Di tingkat Negara Bagian dibentuk sebuah badan yang diberi nama Board Of Education. Badan ini bertugas dan berfungsi membuat kebijakan-kebijakan serta menentukan anggaran pendidikan untuk masing-masing wilayah (Negara Bagian) nya, khususnya berkenaan dengan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Selanjutnya, untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan hal-hal yang lebih teknis (yaitu; tentang kurikulum sekolah, penentuan persyaratan sertifikasi, guru-guru, dan pembiayaan sekolah) dibentuk sebuah bagian pendidikan yang disebut sebagai Comissioner, sering juga disebut sebagai Superintendent. Bagian ini dipimpin oleh seorang yang ditunjuk oleh Board of Education atau oleh Gubernur.

Untuk beberapa Negara Bagian, pimpinan Bagian Pendidikan ini dipilih oleh masyarakatada. Sementara itu pada level operasional, pelaksanaan manajemen pendidikan dijalankan oleh unit-unit yang lebih rendah, bahkan banyak secara langsung dilaksanakan oleh masing-masing sekolah yang bersangkutan. Para pimpinan atau Kepala Sekolah pada prinsipnya memiliki kebebasan dan otonomi yang luas untuk menjalankan manajemen operasional pendidikan.

Khusus untuk menangani kebijakan Pendidikan Tinggi, manajemen pendidikan Amerika Serikat yang dikembangkan oleh Negara-Negara Bagian memisahkan antara Badan yang memberi izin pendirian Perguruan Tinggi (Negeri dan Swasta) dengan Badan yang merumuskan kebijakan akademik serta keuangan. Badan yang menangani kebijakan akademik dan keuangan untuk Pendidikan Tinggi adalah Board of Trustees. Untuk Perguruan Tinggi Negeri anggota badan tersebut ditunujuk oleh Gubernur Negara Bagian. Ada juga yang dipilih dari dan oleh kelompok yang akan diwakili. Sedangkan untuk Perguruan Tinggi Swasta anggota badan tersebut dipilih dari perguruan tinggi masing-masing.

4.      Pendanaan Pendidikan AS

Sumber pendanaan pendidikan di Amerika, khususnya pendidikan dasar dan menengah, yang lebih dikenal dengan PUBLIC SCHOOLS, berasal dari Anggaran Pemerintah Pusat (Federal), Anggaran Pemerintah Negara Bagian dan Anggaran Pemerintah Daerah.

5.      Isu-isu Pendidikan AS

Menurut hasil studi perbandingan yang dilakukan oleh Agustiar Syah Nur (2001), ada beberapa isu dan masalah pendidikan yang dialami pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat, antara lain:

a. Banyaknya anak usia sekolah yang tidak diasuh langsung oleh orang tua mereka, karena adanya dinamika perubahan social masyarakat AS yang umumnya baik sang ibu atau sang ayah memiliki kesibukan yang sangat tinggi di luar rumah. Hal ini akan menjadi permasalahan yang serius bagi perkembangan social anak dilihat dari aspek psikis dan emosional.

b. Tingginya tingkat perceraian, yang mengakibatkan banyaknya anak-anak usia sekolah yang hanya diasuh oleh sang ibu sebagai single-parent dalam rumah tangga. Tidak sedikit janda cerei di AS yang terpaksa harus berporfesi rendahan dan kasar. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan social anak-anak mereka.

c. Tingginya tingkat imigrasi yang umumnya berasal dari kalangan tidak mampu dan tidak terdidik, yang karenanya banyak diantara mereka yang tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal ini menyebabkan masalah pendidikan anak-anak dari keluarga imigran tidak dapat teratasi. Ditambah lagi factor bahasa dari kalangan imigran yang menyulitkan bagi anak-anak imigran itu sendiri jika mereka mendapat akses pendidikan.

d. Dari berbagai monitoring dan evaluasi pendidikan yang dilakukan oleh berbagai badan resmi AS sendiri, ternyata kualitas pendidikan dan lulusan sekolah di AS masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam standar internasional. Banyak anak-anak yang drop-outs dan tingginya kekerasan oleh anak-anak.

6.      Reformasi Pendidikan AS

Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, pemerintah AS sejak tahun 1990 mencanangkan reformasi pendidikan. Pada tahun tersebut Presiden AS George H. B. Bush beserta seluruh Gubernur Negara Bagian (saat itu Bill Clinton termasuk menjadi salah satu Gubernur Negara Bagian) menyetujui reformasi pendidikan dengan mencanangkan 6 tujuan nasional pendidikan AS yang baru. Yaitu:

a. Pada tahun 2000, seluruh anak di AS di waktu mulai masuk sekolah dasar sudah siap untuk belajar.
b. Pada tahun 2000, tamatan sekolah menengah naik sekurangkurangnya 90%.

c. Pada tahun 2000, murid-murid di AS yang menyelesaikan pendidikannya pada “grade 4, 8 dan 12” mampu menunjukkan kemampuannya dalam mata pelajaran yang menantang, yaitu bahasa inggris, matematika, sains, sejarah, dan geografi. Setiap sekolah di AS harus mampu menunjukkan bahwa anak-anak dapat menggunakan pikirannya dengan baik, sehingga mereka siap menjadi warga negara yang baik, siap untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi, serta siap pula untuk pekerjaan yang produktif dalam perekonomian modern.

d. Pada tahun 2000, siswa-siswa AS adalah yang terbaik di dunia dalam bidang sains dan matematika.

e. Pada tahun 2000, setiap orang dewasa AS dapat membaca dan menulis, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing dalam ekonomi global, serta dapat melaksanakan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara.

f. Pada tahun 2000, setiap sekolah di AS harus bebas dari obat-obat terlarang dan kekerasan, serta dapat menciptakan suasanalingkungan yang mantap dan aman sehingga kondusif untuk belajar.

Pokok-pokok reformasi tersebut dimaksudkan sebagai pegangan dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sudah harus segera diimplementasikan dan hasilnya sudah harus kelihatan pada tahun 2000. Dan memang itulah yang terjadi di AS. Pokok-pokok reformasi pendidikan itu akhirnya ditindak lanjuti dengan berbagai kreasi kebijakan pendidikan di tingkat negara bagian dan pemerintah derah.

Gerakan reformasi pendidikan di kalangan Gubernur itu dipelopori oleh Gubernur Bill Clinton dan Lamar Alexander di masing-masing negara bagiannya. Gebrakan yang dilakukan adalah:

a.         Meningkatkan persyaratan untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan
b.        Melaksanakan test standar untuk mengukur keberhasilan siswa
c.         Menjalankan system penilaian yang ketat terhadap guru sejalan dengan pembenahan jenjang karir bagi guru-guru
d.             Memperbesar tambahan dana dari negara bagian bagi sekolahsekolah. Tambahan dana baru ini pada umumnya dipakai untuk meningkatkan gaji guru yang kala itu masih berada pada taraf sangat rendah.

Akhirnya AS benar-benar memperoleh kemajuan di bidang pendidikan, sehingga ketika Bill Clinton menjadi Presiden AS, keberhasilan AS dalam mengembangkan kebijakan pendidikan mendapat perhatian khusus.

B. DESKRIPSI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INDONESIA

1. Politik Pendidikan Indonesia

Politik pendidikan di Indonesia agaknya mengalami pergeseran dari sentralistik (terpusat) ke desentralisasi. Amal mula intervensi negara terhadap sector pendidikan ini sangat besar, sangat kental, dan sangat vulgar. Keadaan mencapai puncaknya saat kementerian pendidikan dipegang oleh Daoed Joesop. Saat itu tidak ada satupun kebebasan dalam sekolah dan kampus. Bahkan berbeda pendapat pun tidak dimungkinkan. Sekolah dan kampus tak ubahnya kelas besar untuk indokrinasi ideology pemerintah (bukan ideology negara) yang tidak menginginkan adanya kritik

terbuka. Kurikulum didisain sedemikian rupa sehingga mata-mata pelajaran yang sifatnya politis menjadi sangat dipentingkan. Mata pelajaran Pancasila, Sejarah, Kewiraan, dan bahkan agama didisain untuk mengentalkan intervensi negara kepada otak, pikiran dan sikap warga negaranya.

Seiring dengan kejatuhan rejim ‘orde baru’ yang interventif tersebut, yang dijatuhkan oleh adanya gerakan reformasi total masyarakat yang dimotori oleh mahasiswa dan kalangan terpelajar, datanglah era yang penuh semangat untuk mengurangi peran dan campur tangan pemerintah pusat dalam menangani berbagai permasalahan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan. Inspirasi pertama muncul dari diundangkannya otonomi daerah secara reformis, yaitu UU No.22 tahun 1999. Dikatakan secara reformis karena sebelum ini memang sudah pernah ada UU otonomi

daerah tetapi tidak memiliki ruh reformasi dan hanya formalitas, yaitu UU No.5 tahun 1975. UU otonomi daerah yang baru itu mengilhami dirumuskannya kebijakan desentralisasi pendidikan.

Dalam bukunya yang berjudul ‘Membenahi Pendidikan Nasional’, Prof. H.A.R. Tilaar (2002), menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia bukan saja sekedar keinginan dan kemauan, tetapi sudah merupakan suatu keharusan. Pasca gerakan reformasi politik dicanangkan pada tahun 1998, ke depan ini bangsa Indonesia harus bangkit menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat, yang berarti sektor pendidikan harus ditempatkan pada posisi pentring dan urgen. Berkaitan dengan urgensi sektor pendidikan itu maka harus dilakukan reformasi dalam pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Ada 3 hal yang dapat menjelaskan urgensi desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu :

a. Untuk pembangunan masyarakat demokrasi;
b. Untuk pembangunan social capital; dan
c. Untuk peningkatan daya saing bangsa;

Selanjujtnya uraian tentang politik pendidikan di Indonesia dapat diikuti kutipan ‘propenas diknas’ yang disistimatisasikan sebagai berikut: Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi

era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.

Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Hal tersebut tercermin, antara lain, dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilaksanakan oleh organisasi International Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta. Manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralistis tersebut telah menyebabkan kebijakan yang seragam yang tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/kepentingan daerah/sekolah/peserta-didik, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.

Sementara itu, penyebaran sumber daya manusia penelitian dengan berbagai macam dan tingkatan belum sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Selain itu, masih dirasakan kurangnya budaya berpikir kritis, penghargaan karya cipta (HAKI) yang belum memadai, kurang efektifnya sistem kelembagaan dan perangkat perundang-undangan serta sertifikasi profesi ilmiah. Berbagai permasalahan tersebut akan diatasi melalui pelaksanaan berbagai program pembangunan yang mengacu pada arah kebijakan pendidikan yang telah diamanatkan oleh GBHN 1999-2004.

Ø  Visi Pendidikan Nasional Indonesia

Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.

Ø  Misi Pendidikan Nasional Indonesia

Untuk mewujudkan visi pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga ditetapkan misi yang menjadi sasaran pembangunan pendidikan nasional, pemuda, dan olahraga, yaitu sebagai berikut: (1). Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; (2). Mewujudkan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kretaif, dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi; (3). Meningkatkan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan, dan mantapnya persaudaraan antarumat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun, dan damai; (4). Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.

2. Arah Kebijkan Pendidikan Indonesia

  Kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 

(1). Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti; 

(2). Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan; 

(3). Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional; 

(4). Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai; 

(5). Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen; 

(6). Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 

(7). Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya; 

(8). Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

3. Program Pembangunan Pendidikan Indonesia

a. Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah

Program pembinaan pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk (1) memperluas jangkauan dan daya tampung SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), SLTP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan lembaga pendidikan prasekolah sehingga menjangkau anak-anak dari seluruh masyarakat; dan (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan perkotaan kumuh, daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah dengan kualitas yang memadai; dan (4) terselenggaranya manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat (school/community based management).

Sasaran yang akan dicapai oleh program pembinaan pendidikan dasar dan prasekolah sampai dengan akhir tahun 2004 adalah (1) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) SD dan MI dan SLTP-MTs; (2) terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan (accountable), serta mendorong partisipasi masyarakat; serta (3) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/ masyarakat (school/community based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di seluruh SD dan MI serta SLTP dan MTs.

Kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah (1) meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di SD dan MI serta pembangunan dan meningkatkan sarana dan prasarana di SLTP dan MTs, termasuk sarana olahraga; (2) memberikan subsidi pendidikan bagi sekolah swasta agar sekolah-sekolah swasta mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan memberikan layanan pendidikan yang dapat dijangkau masyarakat luas; (3) menerapkan alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat kurang beruntung (masyarakat miskin, berpindah-pindah, terisolasi, terasing, minoritas, dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti SD dan MI kecil satu guru, guru kunjung/sistem tutorial, SD Pamong, SD-MI terpadu, kelas jauh, serta SLTP-MTs terbuka; (4) melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai; (5) memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi dan/atau dari keluarga yang tidak mampu, dengan mempertimbangkan peserta didik perempuan secara proporsional; dan (6) melakukan pemerataan jangkauan pendidikan prasekolah melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam menyediakan lembaga penitipan anak, kelompok bermain, dan taman kanak-kanak yang bermutu, serta memberikan kemudahan, bantuan, dan penghargaan oleh pemerintah.

Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah adalah (1) meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan lainnya agar dapat meningkatkan kualitas, citra, wibawa, harkat, dan martabat; (2) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar, sesuai dengan kebutuhan dan potensi pembangunan daerah, mampu meningkatkan kreativitas guru, inklusif dan tidak bias gender, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan peserta didik, menunjang peningkatan penguasaan ilmu-ilmu dasar serta keimanan, ketakwaan dan kepribadian yang berakhlak mulia; (3) meningkatkan penyediaan, penggunaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan: buku pelajaran pokok, buku bacaan, alat pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), IPA, dan matematika, perpustakaan, laboratorium, serta ruang lain yang diperlukan; (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajarmengajar melalui pemetaan mutu sekolah, penilaian proses dan hasil belajar secara bertahap dan berkelanjutan, serta pengembangan sistem dan alat ukur penilaian pendidikan yang lebih efektif untuk meningkatkan pengendalian dan kualitas pendidikan; dan (5) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja kelembagaan sehingga peran dan tanggung jawab sekolah, pemerintah daerah, termasuk lembaga legislatif dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan makin nyata.

Kegiatan pokok dalam upaya memperbaiki manajemen pendidikan dasar dan prasekolah adalah (1) melaksanakan desentralisasi bidang pendidikan secara bertahap, bijaksana dan profesional, termasuk peningkatan peranan Komite Sekolah dengan mendorong daerah untuk melaksanakan rintisan penerapan konsep pembentukan Dewan Sekolah; (2) mengembangkan pola penyelenggaraan pendidikan berdasarkan manajemen berbasis sekolah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat; (3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, seperti diversifikasi penggunaan sumber daya dan dana; (4) mengembangkan sistem insentif yang mendorong kompetisi yang sehat baik antarlembaga dan personel sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan; (5) memberdayakan personel dan lembaga, antara lain, melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional. Program pemberdayaan ini perlu diikuti dengan pemantauan dan evaluasi secara bertahap dan intensif agar kinerja sekolah dapat bertahan sesuai dengan standar mutu pendidikan yang ditetapkan;(6) meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan (7) merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.

b. Program Pendidikan Menengah

Program pembinaan pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA) ditujukan untuk (1) memperluas jangkauan dan daya tampung SMU, SMK, dan MA bagi seluruh masyarakat; dan (2) meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan perkotaan kumuh, daerah bermasalah dan masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5) meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik, (6) meningkatkan efektivitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, (7) meningkatkan kinerja personel dan lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

Sasaran yang akan dicapai oleh program pembinaan pendidikan menengah sampai dengan akhir tahun 2004 adalah (1) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) SMU, SMK dan MA; (2) meningkatnya daya tampung termasuk untuk lulusan SLTP dan MTs sebagai hasil penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebanyak 5,6 juta siswa; (3) mewujudkan organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan (accountable), serta mendorong partisipasi masyarakat; dan (4) terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/ community based management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di setiap sekolah. Kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan pendidikan menengah adalah (1) membangun sekolah dengan prasarana yang memadai, termasuk sarana olahraga, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, potensi daerah, pemetaan sekolah, kondisi geografis, serta memperhatikan keberadaan sekolah swasta; (2) menerapkan alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat kurang beruntung yaitu masyarakat miskin, berpindahpindah, terisolasi, terasing, minoritas, dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan; (3) memberikan kepada siswa yang berprestasi dan/atau dari keluarga yang tidak mampu, dengan mempertimbangkan peserta didik perempuan secara proporsional; dan (4) memberikan subsidi untuk sekolah swasta, yang diprioritaskan pada daerah-daerah yang kemampuan ekonominya lemah, seperti dalam bentuk imbal swadaya dan bentuk bantuan lainnya.

Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah adalah (1) meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, antara lain melalui pemberian akreditasi dan sertifikasi mengajar bidang tertentu yang ditinjau dan dievaluasi secara periodik, serta penyempurnaan sistem angka kredit untuk peningkatan karier guru; (2) menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai dengan kebutuhan dan potensi pembangunan daerah, mampu meningkatkan kreativitas guru, inklusif dan tidak bias gender sesuai dengan kapasitas peserta didik, serta menekankan perlunya peningkatan keimanan dan ketakwaan, wawasan kebangsaan, kesehatan jasmani, kepribadian yang berakhlak mulia, beretos kerja, memahami hak dan kewajiban, serta meningkatkan penguasaan ilmu-ilmu dasar (matematika, sains dan teknologi, bahasa dan sastra, ilmu sosial, dan bahasa Inggris); (3) meningkatkan standar mutu nasional secara bertahap agar lulusan pendidikan menengah mampu bersaing dengan lulusan pendidikan menengah di negara-negara lain; (4) menerapkan kurikulum berbasis kompetensi pada sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi tuntutan persyaratan tenaga kerja; (5) mengembangkan lomba karya ilmiah dan sejenisnya yang disesuaikan dengan standar yang dipakai di dunia pendidikan internasional; (6) melakukan pendekatan pada dunia usaha dan dunia industri untuk melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah menengah, khususnya pendidikan menengah kejuruan dalam mengembangkan perencanaan, pengembangan materi pelajaran, implementasi kegiatan, dan penilaian program pengajaran; (7) mengembangkan programprogram keterampilan/kejuruan pada SMU dan MA yang sesuai dengan lingkungan setempat atau tuntutan dunia kerja setempat agar para lulusan SMU dan MA yang tidak memiliki peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dapat bersaing dalam memasuki dunia kerja; (8) meningkatkan pengadaan, penggunaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk buku dan alat peraga, perpustakaan, dan laboratorium bagi sekolah-sekolah negeri dan swasta secara bertahap; (9) meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar melalui pemetaan mutu sekolah, penilaian proses dan hasil belajar secara bertahap dan berkelanjutan serta pengembangan sistem dan alat ukur penilaian pendidikan yang lebih efektif untuk meningkatkan pengendalian dan kualitas pendidikan; dan (10) meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja kelembagaan dan pengelolaan sumber dana sehingga peran dan tanggung jawab sekolahsekolah, pemerintah daerah termasuk lembaga legislatif dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan makin nyata.

Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan manajemen pendidikan menengah adalah (1) melaksanakan demokratisasi dan desentralisasi pendidikan antara lain dengan pembentukan dan peningkatan peranan Komite Sekolah meliputi perencanaan, implementasi, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah, serta mendorong daerah untuk melaksanakan rintisan penerapan konsep pembentukan Dewan Sekolah; (2) mengembangkan manajemen berbasis sekolah (school based management) untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan; (3) meningkatkan partisipasi masyarakat agar dapat menjadi mitra kerja pemerintah yang serasi dalam pembinaan pendidikan menengah; (4) mengembangkan sistem akreditasi secara adil dan merata, baik untuk sekolah negeri maupun swasta; (5) mengembangkan sistem insentif yang mendorong kompetisi yang sehat antar lembaga dan personel sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan; (6) memberdayakan personel dan lembaga antara lain dilakukan melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh lembaga profesional. Program pemberdayaan ini perlu diikuti dengan pemantauan dan evaluasi secara bertahap dan intensif agar kinerja sekolah dapat bertahan sesuai dengan standar mutu pendidikan yang ditetapkan; (7) meninjau kembali semua produk hukum di bidang pendidikan, yang tidak sesuai lagi dengan arah dan tuntutan pembangunan pendidikan; dan (8) merintis pembentukan badan akreditasi dan sertifikasi mengajar di daerah untuk meningkatkan kualitas tenaga kependidikan secara independen.

c. Program Pendidikan Tinggi

Program pembangunan nasional pendidikan tinggi bertujuan untuk (1) melakukan penataan sistem pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sasaran yang ingin dicapai adalah (1) mewujudkan otonomi pengelolaan empat perguruan tinggi negeri --yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM)-- dan merintis penerapannya di beberapa perguruan tinggi negeri lainnya; (2) meningkatkan jumlah lulusan yang terserap di dunia kerja; dan (3) meningkatkan angka partisipasi kasar (APK). Kegiatan pokok di bidang penataan sistem pendidikan tinggi ini adalah (1) meningkatkan otonomi manajemen agar kreativitas, keaslian (ingenuity) dan produktivitas sivitas akademika dapat menghasilkan kualitas kinerja yang tinggi, yang akan dilakukan dengan memberi kewenangan yang lebih besar pada perguruan tinggi untuk mengelola sumber daya yang dimiliki, baik fisik, finansial, maupun sumber daya manusia, termasuk kurikulumnya; (2). Meningkatkan mekanisme kerjasama yang jelas antara perguruan tinggi dan masyarakat pengguna hasil perguruan tinggi tentang pemanfaatan sumber daya dalam proses pelaksanaan kegiatan fungsional dan kualitas kinerja perguruan tinggi (3) meningkatkan kualitas sistem akreditasi di lingkungan pendidikan tinggi yang dilaksanakan secara teratur, efisien, dan efektif; (4) menyusun peraturan perundang-undangan untuk menertibkan lembaga pemberi/penerbit gelar dan jabatan akademik; dan (5) meningkatkan kemampuan sivitas akademika dalam melakukan evaluasi diri untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran, kinerja staf, dan perencanaan pengembangan perguruan tinggi.

Kegiatan pokok di bidang peningkatan kualitas dan relevansi adalah (1) menyesuaikan program studi dengan perkembangan kebutuhan pembangunan nasional; (2) meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan jalan meningkatkan proporsi yang berpendidikan pascasarjana; (3) meningkatkan kualitas fasilitas laboratorium beserta peralatannya, buku-buku, dan jurnal ilmiah; serta (4) menyempurnakan kurikulum yang sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan, baik di tingkat lokal maupun nasional untuk menghadapi persaingan global.

Kegiatan pokok di bidang penelitian untuk meningkatkan kualitas dan relevansi adalah (1) meningkatkan penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal; (2) meningkatkan kualitas laboratorium beserta peralatannya; (3) melengkapi informasi ilmiah berupa buku dan jurnal; (4) meningkatkan kualitas kemampuan meneliti bagi tenaga akademik melalui pendidikan lanjutan dan pelatihan; serta (5) mendorong kerjasama penelitian dan pengembangan antarperguruan tinggi, serta antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian/dunia usaha baik nasional maupun internasional, khususnya untuk mendukung pengembangan sumber daya lokal. Kegiatan pokok di bidang pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan relevansi adalah (1) menyebarluaskan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna untuk kemaslahatan masyarakat; (2) meningkatkan kerjasama perguruan tinggi untuk mendukung pengembangan industri kecil; (3) menyelenggarakan kerjasama dengan industri untuk meningkatkan kemampuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; serta (4) meningkatkan partisipasi perguruan tinggi untuk mendukung proses pengembangan masyarakat.

Kegiatan pokok untuk memperluas kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat adalah 

(1) meningkatkan kapasitas tampung, terutama untuk bidang-bidang yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan teknologi, serta meningkatkan kualitas kehidupan; 

(2) mendorong peningkatan peran swasta melalui perguruan tinggi swasta; 

(3) meningkatkan penyediaan beasiswa bagi mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu; dan 

(4) menyebarkan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk mendukung pembangunan daerah serta memberi kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelenggarakan pembinaan perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi.

d. Program Pembinaan Pendidikan Luar Sekolah

Program pembinaan pendidikan luar sekolah (PLS) ini bertujuan untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi pribadi, dan dapat mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu, program PLS diarahkan pada pemberian pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya dan anggota keluarganya.

Sasaran program PLS adalah penduduk atau warga belajar yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal yang meliputi 

(a) penduduk yang masih buta aksara latin, angka, dan bahasa Indonesia; 
(b) warga belajar yang belum menyelesaikan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun; dan 
(c) pemberdayaan tempat/sanggar pusatpusat kegiatan pembelajaran masyarakat.

 Kegiatan pokok yang dilakukan adalah 

(1) mempercepat penuntasan buta aksara melalui keaksaraan fungsional, khususnya bagi penduduk usia 10-44 tahun. Taman Bacaan dan perpustakaan yang sudah ada dikembangkan dan ditingkatkan pemanfaatannya agar warga masyarakat gemar membaca buku. Upaya untuk menuntaskan tiga buta (buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan dasar) ditingkatkan dan diperluas jenisnya agar dapat menampung murid yang putus sekolah dari berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, dengan memberi perhatian khusus pada perempuan;

 (2) meningkatkan sosialisasi dan jangkauan pelayanan pendidikan dan kualitas serta kuantitas warga belajar Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP untuk mendukung wajib belajar 9 tahun, dan mengembangkan berbagai jenis pendidikan luar sekolah yang berorientasi pada kondisi dan potensi lingkungan, dengan mendayagunakan prasarana dan kelembagaan yang sudah ada di masyarakat; dan 

(3) mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan. Jenis dan jangkauan kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan permintaan pasar, dan diarahkan pada peningkatan pengetahuan dasar dan keterampilan berwiraswasta sebagai bekal kemampuan bekerja dan berusaha.

e. Program Sinkronisasi dan Koordinasi

Program ini bertujuan untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pendidikan baik antarjenjang, jalur, dan jenis maupun antardaerah. Sasarannya adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan, antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah.

Kegiatan pokok yang dilakukan adalah

 (1) melakukan kajian akademik, merumuskan, dan mewujudkan peraturan perundangundangan dan kebijakan pendidikan nasional yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pendidikan antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah; 

(2) mengembangkan dan melaksanakan sistem kelembagaan yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan pendidikan antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah; 

(3) melakukan penilaian/pengukuran keberhasilan pembangunan pendidikan nasional; 

(4) melakukan standarisasi sarana dan prasarana pendidikan untuk mendukung proses belajar mengajar yang bermutu; 

(5) mengembangkan dan melaksanakan sistem informasi dan pendataan untuk semua jalur, jenis, dan jenjang, serta daerah; 

(6) melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan nasional; dan

 (7) melakukan kerja sama di bidang pendidikan dengan berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri.

f. Program Penelitian dan Pengembangan

Program ini bertujuan untuk 

(1) meningkatkan mutu hasil penelitian; 
(2) meningkatkan kualitas peneliti; 
(3) meningkatkan kompetensi lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) publik searah dengan kebutuhan dunia usaha dan masyarakat, serta perkembangan percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 
(4) membentuk iklim yang kondusif bagi terbentuknya sumber daya litbang. Sasaran yang akan dicapai adalah mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa untuk memecahkan berbagai masalah pembangunan. 

Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) membina kreativitas pengembangan program penelitian; (2) mengembangkan riset-risetnpembinaan dan unggulan; (3) memanfaatkan hasil litbang dalam peningkatan kualitas layanan masyarakat; (4) mengembangkan jaringan kerjasama riset, termasuk dengan lembaga penelitian internasional untuk mengembangkan produk-produk unggulan; (5) mengembangkan dan memantapkan pusat-pusat unggulan di berbagai lembaga universitas dan riset; (6) mengembangkan kajian-kajian sosial budaya sebagai masukan bagi kebijakan pemerintah; (7) melindungi produk litbang dalam HAKI dan desentralisasi agar pendapatan lebih dapat dimanfaatkan oleh individu dan lembaga penemu; (8) membina organisasi profesi ilmiah untuk melakukan sertifikasi dan akreditasi profesional sesuai dengan standar internasional; (9) memberdayakan lembaga-lembaga ilmiah dan masyarakat dalam pemberian penghargaan inovasi ilmiah; dan (10) mengembangkan pranata iptek di daerah, baik dari sisi program maupun kelembagaannya, sesuai dengan kebutuhan dan potensi sumber daya daerah.

g. Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan teknologi lembaga-lembaga litbang, Metrology, Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang ditekankan untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong pelaksanaan litbang di dan oleh dunia usaha. Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya kemandirian pelayanan teknologi dan keunggulan inovasi teknologi bangsa sendiri agar dapat meningkatkan daya saing dunia usaha dan masyarakat. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) mengembangkan agenda riset lembaga litbang dengan pengguna iptek; (2) menata sistem kelembagaan, legal, fiskal, dan finansial untuk memudahkan sebaran kemanfaatan iptek, bagi dunia usaha; (3) menyusun peraturan perundang-undangan untuk memberikan keleluasaan lembaga litbang dalam mengelola penerimaan dana hasil penelitian dan pelayanan teknologi; (4) mengembangkan iklim riset dan evaluasi kinerja melalui mekanisme seleksi terbuka; (5) mengembangkan sistem MSTQ melalui peningkatan standar mutu luaran iptek; (6) mengembangkan asistensi teknis kepada usaha kecil, menengah, koperasi, dan wirausaha tradisional; dan (7) memperluas kemitraan riset, termasuk menyederhanakan proses kemitraan, untuk meningkatkan keefektifan dan keleluasan dalam berhubungan dengan dunia usaha.

4. Manajemen Pendidikan Di Indonesia

Administrasi dan menejemen (birokrasi) pendidikan di Indonesia tidak berbeda dengan administrasi dan manajemen sektor-sektor lain yang berbentuk departemen. Secara nasional permasalahan sektor pendidikan ditangani oleh sebuah badan berbentukdepartemen, yang beberapa kali mengalami perubahan nama dan perubahan terakhir diberi nama DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL. Departemen ini dipimpin oleh seorang menteri yang ditunjuk langsung oleh presiden. Untuk masa sekarang ini, struktur organisasinya adalah sebagai berikut:

5. Pendanaan Pendidikan di Indonesia

Jika dibandingkan dengan di AS, sumber pendanaan pendidikan di Indonesia berasal dari beberapa sumber anggaran. Yaitu berasal dari APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten/Kota. Sumber pendanaan dari APBN umunya dialokasikan untuk seluruh kegiatan pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Sumber dari APBN ini juga diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan secara nasional. Sedangkan sumber pendanaan yang berasal dari APBN Propinsi, umumnya sebagian besar diperuntukkan bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah. Hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan di tingkat pendidikan tinggi. Sumber dana dari APBD propinsi ini dialokasikan untuk penuyelenggaraan pendidikan yang ada diwilayah propinsi tersebut. Adapun sumber pendanaan dari APBD Kabupaten/Kota seluruhnya untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di wilayah tersebut.

Hal ini sesuai dengan semangat desentralisasi. Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan, alokasi anggaran pendidikan, baik di APBN maupun APBD Propinsi dan Kab/Kota, mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini dikarenakan menurut amanat UU, anggaran pendidikan harus terus diupayakan dinaikkan hingga mencapai sedikitnya angka 20% dari total anggaran pengeluaran APBN atau APBD.


Post a Comment for "Makalah Perbandingan Kurikulum Amerika dengan Indonesia"